Rabu, 24 Juni 2009

PEPERANGAN ISLAM

Peperangan (1)

Ekspedisi Muktah (8 H/630 M)

Rasulullah saw mengirim surat kepada Syurahbil, kepala suku Bani
Ghassan, berisi ajakan untuk memeluk agama Islam. Surat Rasulullah
saw tersebut ditanggapi dengan penghinaan, bahkan ia membunuh Haris
bin Umair, delegasi Rasulullah saw yang menyampaikan surat tersebut.
Kejadian ini mendorong Rasulullah saw untuk menyiapkan sebuah
pasukan untuk membalas agresi tersebut. Mendengar hal itu, Bani
Ghassan segera meminta bantuan kepada tentara Romawi. Dalam
pertempuran tersebut kaum muslimin di bawah pimpinan Zaid bin
Haritsah, bertemu dengan tentara Romawi yang datang untuk membantu
Syurahbil, kepala suku Bani Ghassan. Dalam pertempuran tersebut
berturut-turut tiga panglima pasukan muslimin mati syahid
masing-masing Zaid bin Haritsah, Jakfar bin Abu Thalib dan Abdullah
bin Rawahah. Setelah pimpinan beralih ke tangan Khalid bin Walid,
dia mengambil siasat untuk mundur.

Pembebasan Yerusalem (583 H/1187 M)

Seusai perang Hittin, Shalahuddin Ayubi mengepung kota Yerusalem
(Baitulmakdis). Setelah lima hari dikepung, akhirnya Yerusalem dapat
dibebaskan, beliau memasuki kota Yerusalem dan mengusir orang-orang
Salib dari sama tanpa melakukan tindak kekerasan, berbeda dengan
tindakan yang mereka lakukan ketika menguasai Yerusalem pada perang
Salib I.

Penaklukan Afrikia/Tunisia (50 H/670 M)

Setelah berhasil memerangi para perampok di Sudan, Uqbah bin Nafi
melanjutkan tugasnya ke Afrikia (Tunisia sekarang) dengan membawa
pasukan berjumlah 10.000 prajurit. Pasukan tersebut memasuki Tunisia
sampai di lembah Qairawan tanpa mendapat perlawanan. Di tempat
terakhir ini, beliau membangun kota Qairawan.

Penaklukan Aljazair (58 H/678 M)

Dinar Abul Muhajir, Emir Afrikia (Tunisia sekarang) berangkat
menyerang kabilah Urbah yang dipimpin oleh Kasilah. Kabilah inilah
yang menantang pasukan Islam dengan dukungan semangat dari pasukan
Bizantium. Pasukan muslimin menyerbu mereka sampai ke pusat-pusat
pemerintahan mereka di Maroko Tengah. Kasilah terpaksa meminta
mengadakan perjanjian dan ia sendiri masuk Islam. Abul Muhajir
kemudian melangkah maju dan berhasil menguasai daerah Tilmisan serta
meruntuhkan aliansi Barbar-Bizantium.

Penaklukan Bukhara (89 H/709 M)

Qutaibah bin Muslim adalah seorang gubernur di Khurasan. Dari sana
ia menyiapkan pasukan untuk menyerang kawasan Trans Oceania,
kemudian terjadi pertempuran di kawasan tersebut. Dalam pertempuran
yang sengit itu, ia berhasil menaklukan beberapa kota, seperti
Khawarazem, Sijistan, Bukhara dan Samarkand. Kemudian ia memerangi
kelompok-kelompok kecil Cina dan mewajibkan mereka membayar jizyah
(upeti) hingga semua kawasan Trans Oceania tunduk dalam kekuasaan
Islam.

Penaklukan Kaisaria (104 H/723 M)

Kota Kaisaria ditaklukan oleh Usman bin Hayyan Al Mari ketika
terjadi perang dengan tentara Romawi pada masa pemerintahan Yazid
bin Abdul Malik.

Penaklukan Kaisaria (19 H/640 M)

Setelah Kaisaria dikepung selama enam bulan, akhirnya Muawiyah
berhasil menaklukan negeri tersebut.

Penaklukan Kawasan Trans Oceania (54 H/673 M)

Ubaidillah bin Ziad, Amir Irak dan kawasan Timur berhasil
menyeberangi sungai Jihun (Oxus) sampai ke daerah Bukhara dan
berhasil menaklukan Ramisytah dan Bekind. Beliau inilah orang Arab
Muslim pertama menyeberangi sungai tersebut. Pada tahun 87 H kawasan
Trans Oceania berhasil ditaklukan oleh Qutaibah bin Muslim pada masa
pemerintahan khalifah Walid bin Abdul Malik. Misi penaklukan ke
kawasan Trans Oceania terus meluas sampai ke delta sungai Jihun
(Oxus). Kemudian Maslamah bin Abdul Malik memimpin pasukan menuju
Azerbaijan dan berhasil menaklukannya. Penaklukan ini adalah batu
loncatan untuk penyebaran Islam di negeri tersebut dan membuka jalur
perdagangan dengan Cina.

Penaklukan Khurasan (29 H/649 M)

Pasukan kaum muslimin di bawah pimpinan Ahnaf bin Qais berhasil
menaklukan daerah Khurasan setelah berhasil memukul tentara Persia
dan mengusir raja Yezdigird III.

Penaklukan Konstantinopel (857 H/1453 M)

Pada tanggal 29 Mei 1453 kota Konstantinopel, ibu kota Bizantium
berhasil ditundukkan oleh Muhammad II, sultan Usmani yang terkenal
dengan nama Muhammad Al Fatih.

Penaklukan Kota Alexandria (21 H/641 M)

Dalam rangka implementasi perjanjian Babilonia, kaum muslimin
memasuki kota Alexandria, sedangkan tentara Romawi harus angkat kaki
dari kota tersebut. Dengan demikian maka kaum muslimin telah dapat
memerintah semua daerah Mesir.

Penaklukan Kota Mekah (8 H/630 M)

Setelah kaum Quraisy membatalkan secara sepihak perjanjian mereka
dengan Rasulullah saw, beliau menyiapkan pasukan yang terdiri dari
10.000 orang tentara untuk menaklukan kota Mekah. Kota Mekahpun
akhirnya dapat ditaklukan tanpa terjadi pertumpahan darah dan
Rasulullah saw memberikan amnesti kepada penduduknya, melakukan
tawaf dan menghancurkan semua berhala yang terdapat di sekitar Kakbah

Penaklukan Libia (23 H/644 M)

Amru bin Ash berhasil menguasai kawasan pantai Libia seperti Barca,
Tripoli dan lain-lain. Sedangkan pasukan Uqbah bin Nafi` menuju ke
selatan, ke kawasan lembah dan gurun dan berhasil menaklukan kota
Fazzan dan Zuwailah.

Penaklukan Rodes (193 H/809 M)

Penaklukan ini dilakukan oleh Humaid bin Makyuf, Gubernur pantai
Syam (Suriah dan sekitarnya) dan Mesir. Beliau berangkat memimpin
sebuah armada laut Islam di laut Tengah, menyerbu pulau Siprus
sebagai balasan atas tindakan mereka melanggar perjanjian damai yang
telah ditandatangani kedua belah pihak. Setelah itu ia menyerbu
pulau Crete dan pulau Rodes.

Penaklukan Samarkand (93 H/712 M)

Sejalan dengan rencana penaklukan yang bertujuan mengintegrasikan
semua kawasan Trans Oceania ke dalam pemerintahan Islam, Qutaibah
bin Muslim bergerak maju ke arah Khawarazem untuk menaklukannya. Di
sana beliau mengadakan perjanjian dengan Raja Khawarazem, kemudian
meneruskan tugasnya ke negeri Shagt dan berhasil menundukkan
Samarkand serta mengadakan perjanjian dengan penduduknya.

Penaklukan Sind (82 H/708 M)

Hajjaj As Tsaqafi, gubernur Irak mengirimkan sebuah ekspedisi
militer di bawah pimpinan Muhammad bin Qasim Tsaqafi, iparnya untuk
menaklukan wilayah Sind dengan memberikan bala bantuan sebanyak
6.000 orang prajurit dari Syam (Suriah dan sekitarnya) di samping
pasukannya sendiri. Mereka berangkat ke Makran dan berhasil
menaklukan wilayah Makran dan sekitarnya. Beliau menghadapi pasukan
Dahiran, Raja Sind, akhirnya raja itu terbunuh. Pasukannya terus
dikerahkan ke pedalaman Sind hingga beliau berhasil menguasai dan
menata negeri tersebut.

Perang (perjanjian) Hudaibiyah (6 H/628 M)

Ketika kaum Quraisy melarang rombongan Rasulullah saw beserta
rombongan yang terdiri dari sekitar 1400 orang memasuki kota Mekah
untuk melakukan umrah, beliau berhenti di Hudaibiyah dan mengutus
Usman bin Affan untuk berunding dengan Quraisy. Ketika Usman
terlambat kembali kepada rombongan, kaum muslimin memperkirakan
bahwa Quraisy telah membunuh delegasi Rasulullah tersebut, maka
Rasulullah saw bersiap-siap untuk menyerang Quraisy. Di saat itu
seluruh kaum muslimin berbaiat untuk berperang sampai mati. Tidak
lama kemudian Usman kembali, setelah itu terjadilah penandatanganan
perjanjian dengan kaum Quraisy.

Perang Abwa (2 H/624 M)

Perang ini dianggap perang pertama yang diikuti Rasulullah saw. pada
masa Islam. Jihad diwajibkan karena dua hal. Pertama, untuk
mempertahankan jiwa, kehormatan, harta dan negara. Kedua, untuk
mempertahankan dakwah Islam (seruan kepada agama Allah), jika ada
yang menghalangi jalan dakwah dengan menyiksa orang yang beriman
atau menghalangi seseorang yang ingin memeluk agama Islam atau
melarang juru dakwah menyampaikan ajaran Islam. Allah berfirman,
“Perangilah orang-orang yang memerangi kamu karena Allah, (tetapi)
janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Al Baqarah: 190). Jihad
diwajibkan pada tahun kedua Hijriah, setelah kaum Quraisy
meningkatkan agresinya kepada kaum muslimin dan menghalang-halangi
dakwah. Allah menurunkan ayat kewajiban berjihad, “Telah diizinkan
(berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya
mereka telah dianiaya. Sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa
menolong mereka.” (Al Hajj: 39). Pada tahun itu Rasulullah saw.
meninggalkan kota Madinah bersama para sahabat setelah mempercayakan
urusan kota Madinah kepada Sa`ad bin Ubadah. Setibanya di Wadan atau
Abwa Rasulullah saw mencari kaum Quraisy dan Bani Dhamrah, setelah
beliau membuat perjanjian dengan Bani Dhamrah, beliau kembali ke
Madinah.

Perang Ain Jalut (805 H/1402 M)

Segera setelah mendengar berita bahwa Mongol akan menyerang Mesir,
Sultan Quthuz langsung menyiapkan pasukan yang terdiri dari Mamalik
di bawah pimpinan Bebaris Bindiqdari. Kedua pasukan bertemu di suatu
tempat yang bernama Ain Jalut dekat Napiles, Syam. Pasukan Mongol
yang dipimpin oleh Katbaga mengalami kekalahan pahit, sedangkan kaum
muslimin berhasil mematahkan serangan Mongol.

Perang Ajnadin (13 H/634 M)

Di bawah komando Khalid bin Walid, pasukan muslimin bertemu dan
bertempur melawan pasukan Romawi yang dipimpin oleh Arthabun. Dalam
pertempuran yang sengit itu, pasukan muslimin berhasil mengalahkan
pasukan Romawi.

Peperangan (2)

Perang Amoria (233 H/838 M)

Setelah Teofel, kaisar Romawi menyerbu beberapa kota Islam yang
berbatasan dengan emperium tersebut dan terjadi berbagai kerusakan
di sana, khalifah Muktashim mengerahkan sebuah pasukan besar untuk
menyerang tentara Bizantium. Kedua pasukan tersebut bertemu di
Ankara, di mana pasukan Muktashim berhasil mematahkan serangan
Teofel dan mereka mengalami kerugian materi yang besar. Beliau
meneruskan penyerangan ke kota Amoria, tempat kelahiran kaisar
Bizantium tersebut. Muktashim melangkah maju ke ibu kota Amoria
bersama panglima Afsyen, mereka berhasil menaklukan Ankara.

Perang Ankara (805 H/1402 M)

Sejak awal abad kesembilan Hijrah, telah terjadi perselisihan antara
sultan Dinasti Mongol dengan sultan-sultan Dinasti Usmani.
Perselisihan ini mendorong Timur Lank memimpin sebuah pasukan untuk
menantang Beyazid II, sultan Usmani. Kemudian pertempuran berkobar
di Ankara yang berakhir dengan kekalahan Beyazid II, sultan Usmani
dan iapun tertawan, kemudian ditandatanganilah perjanjian antara
kedua belah pihak.

Perang Arak (647 H/1250 M)

Setelah pendeta Anusint III membangkitkan semangat orang-orang
Kristen untuk melawan kaum muslimin Andalusia, Yakub bin Abdul
Mukmin dari Daulat Muwahhidi yang memerintah Maroko berhadapan
dengan Alfonso VIII, raja Castilian pada suatu pertempuran sengit di
suatu tempat yang dikenal dengan Arak. Pertempuran itu berakhir
dengan kekalahan pahit tentara Salib dan kaum muslimin menduduki
kembali tempat itu setelah dikuasai pasukan Salib selama 40 tahun.

Perang Badar (2 H/624 M)

Pada tahun kedua Hijriah, Rasulullah saw menyuruh para sahabat untuk
menghadang rombongan dagang Quraisy yang akan melewati pinggiran
kota Madinah. Hal ini dilakukan karena kekejaman Quraisy terhadap
kaum muslimin. Setelah mengetahui rencana kaum Muslimin ini, kaum
Quraisy menyiapkan 1000 serdadu, kemudian berangkat dari Mekah
menuju utara ke kota Madinah untuk menghadang kaum muslimin di
Badar. Meskipun tentara Quraisy berjumlah tiga kali lipat dari
jumlah tentara muslimin tetapi kaum muslimin berhasil meraih
kemenangan yang gemilang atas kaum Quraisy.

Perang Balat Syuhada (Tours) (114 H/732 M)

Pasukan muslimin melangkah maju ke arah Selatan Prancis, melintasi
gunung Pyrenees dan berhasil menduduki kota Bordeaux. Di saat itu
berkecamuklah perang Balat Syuhada antara pasukan muslimin yang
dipimpin oleh Abdur Rahman Ghafiqi dengan tentara Salib yang
dipimpin oleh Karel Martel di dekat kota Poitiers. Dalam perang
tersebut, pasukan Martel meraih kemenangan dan Abdur Rahman Ghafiqi
gugur di medan tempur. Pasukan muslimin mulai terdesak sampai ke
gunung Pyrenees, yang merupakan batas akhir ekspedisi Islam ke Eropa.

Perang Bani Quraizhah (5 H/627 M)

Akibat pelanggaran kaum Yahudi Bani Quraizhah terhadap perjanjian
yang telah disepakati antara mereka dengan Nabi saw, di mana mereka
mengadakan integrasi dengan pasukan sekutu Quraisy, Rasulullah saw
mengerahkan pasukan kaum muslimin untuk menyerang mereka. Setelah
mereka terkepung, akhirnya mereka menyerah dan mereka mempercayakan
kepada Saad bin Muaz untuk memutuskan hukuman yang akan diberikan
kepada mereka. Sa`ad bin Muaz memutuskan hukuman bunuh terhadap kaum
lelaki dan tawanan untuk kaum wanita serta anak-anak mereka.

Perang Bir Kahinah (82 H/702 M)

Setelah kemenangan Hassan bin Nukman pada perang di lembah Adzara
dan memaksa Kahinah mengungsi ke gunung Aures, Hassan terus
mengejarnya sehingga terjadilah pertempuran sengit di sebuah tempat
bernama Bir Kahinah (sumur Kahinah). Dalam pertempuran itu Hassan
meraih kemenangan yang gemilang dan Kahinah berhasil dibunuh.

Perang Daumatul Jandal (5 H/627 M)

Sesampainya berita bahwa di Daumatul Jandal terdapat sebuah
komplotan besar yang terus-menerus melaksanakan teror terhadap orang
yang melewati tempat itu, Rasulullah saw bersama 1000 orang sahabat
berangkat untuk menjumpai mereka. Setibanya Rasulullah saw dan
rombongan, gerombolan tersebut berpencar-pencar dan beliaupun
kembali ke kota Madinah.

Perang Heliopolis (20 H/641 M)

Dalam peperangan ini kaum muslimin meraih kemenangan di bawah
pimpinan Amru bin Ash dan pasukan Romawi yang terkepung di benteng
Babilon-Mesir akhirnya terpaksa menyerah. Kairus Muqauqis, penguasa
Bizantium di Mesir terpaksa menandatangani perjanjian Babilonia
untuk menghentikan pertempuran.

Perang Hittin (583 H/1187 M)

Dalam perang ini kaum muslimin berhasil mendapatkan kemenangan
gemilang atas pasukan Salib. Setelah menguasai Thabriah, dekat
kampung Hittin di Acre, Shalahuddin Ayubi mengepung tentara Salib
semalam dan pada siang harinya menghujani mereka dengan peluru.
Tentara Salib akhirnya terpaksa menerima kekalahan pahit dan Arnat
serta raja Baitulmakdis berhasil ditawan.

Perang Hunain (8 H/630 M)

Di bawah pimpinan Rasulullah saw, pasukan muslimin berhadapan dengan
kaum Hawazin yang dipimpin oleh Malik bin Auf di lembah Hunain. Pada
awal pertempuran, kaum muslimin hampir mengalami kekalahan tetapi
berkat keteguhan Rasulullah saw dan para sahabatnya, akhirnya
pasukan muslimin dapat meraih kemenangan gemilang.

Perang Jamal (36 H/656 M)

Ketika Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awam dan Aisyah ra. enggan
membaiat Ali bin Abu Thalib menjadi khalifah, mereka pindah ke kota
Basrah, tempat pendukung mereka berdomisili, sementara Ali bin Abu
Thalib mengerahkan pendukungnya di Kufah berangkat ke Basrah.
Terjadi perang Jamal, di mana pasukan Ali bin Abu Thalib berhasil
mengalahkan penentangnya. Dalam prang itu Thalhah dan Zubair
terbunuh, sementara Aisyah dipulangkan secara terhormat ke kota
Mekah.

Perang Khaibar (8 H/630 M)

Rasulullah saw bersama sahabat-sahabat berangkat untuk menyerang
kaum Yahudi Khaibar, karena tindakan mereka menghasut badui Arab
untuk membangkang terhadap kaum muslimin. Kaum muslimin berhasil
menaklukan Khaibar dan mengadakan perjanjian dengan penduduk
setempat. Dalam perjanjian tersebut dinyatakan bahwa penduduk
Khaibar berhak tinggal di atas tanah-tanah mereka dengan syarat
mereka harus membayar upeti (jizyah) kepada kaum muslimin.

Perang Khandak (5 H/627 M)

Kaum Quraisy bersama sekutu-sekutu dan kabilah-kabilah lainnya di
Jazirah Arab bergabung untuk memerangi kaum muslimin. Setibanya di
kota Madinah, kaum Yahudi Bani Quraizhah ikut integrasi dengan
pasukan sekutu ini. Tidak ada seorangpun dari mereka yang berhasil
menerobos masuk ke kota Madinah, berkat adanya hambatan parit
(khandak) yang digali kaum muslimin sebelumnya.

Perang Lembah Adzara (Lembah Virginia) (80 H/699 M)

Setelah kekalahan Kahinah, pemimpin salah satu kabilah Barbar dalam
perang I di Gabes dan didesak mundur sampai ke Barca pada tahun 75
H, Hassan bin Nukman kembali lagi membawa pasukan besar setelah
mendapat bala bantuan dari pemerintahan pusat, khalifah Abdul Malik
bin Marwan. Kedua pasukan itu bertemu kembali di dekat Gabes.
Pertempuran itu dimenangkan oleh Hassan dan Kahinah terpaksa
melarikan diri ke gunung Aures.

Perang Lembah Bakkah (92 H/711 M)

Sesuai dengan rencana penaklukan Andalusia, Musa bin Nushair
menyiapkan sebuah pasukan dengan jumlah 12.000 prajurit yang terdiri
dari suku Arab dan Barbar, di bawah pimpinan Thariq bin Ziad. Di
suatu tempat yang disebut dengan lembah Bakkah, pasukan muslimin
berhadapan dengan tentara Visigoth yang dipimpin oleh raja Roderick.
Pertempuran yang berlangsung selama delapan hari itu berakhir dengan
kekalahan Roderick dan pasukannya porak-poranda.

Perang Manshurah (647 H/1250 M)

Dalam pertempuran ini, tentara Mesir di bawah pimpinan Turan Syah
dapat mengalahkan pasukan Salib VII di Manshurah dan berhasil
menawan raja Louis IX, raja dari Prancis yang sekaligus pimpinan
pasukan Salib yang dipenjarakan di tempat kediaman Ibnu Lukman.

Perang Manzikert (464 H/1071 M)

Setelah sultan Alfa Arselan, penguasa Saljuk, mendengar berita bahwa
kaisar Romanus Diagenes IV dari Bizantium telah menyiapkan sebuah
pasukan besar untuk menyerbu Azerbaijan dan kota-kota Islam di Asia,
sultan Alfa Arselan mencegat pasukan itu di dekat danau Van. Beliau
berhasil mengalahkan tentara Bizantium dan menyandera kaisar Romanus
Diegenes IV setelah pasukannya dicerai beraikan.

Perang Marj Dabiq (922 H/1516 M)

Setelah hubungan antara Daulat Usmani dan Daulat Mamalik memburuk,
Salim I, sultan Usmani, membawa sebuah pasukan lewat Mesir dan Syam
untuk meruntuhkan Daulat Mamalik. Pasukan ini bertemu dengan pasukan
Mamalik di bawah pimpinan Sultan Qansauh Al Ghuri di Marj Dabiq,
Syam. Kemenangan pasukan Usmani pada peperangan ini adalah merupakan
pertanda mulainya penaklukan Usmani ke belahan Timur Arab, di mana
setelah kemenangan itu Daulat Usmani berhasil menguasai Homs, Hama
dan Damaskus.

Perang Nahar (Sardinia) (200 H/815 M)

Di bawah pimpinan Hakam bin Hisyam, pasukan muslimin meraih
kemenangan melawan tentara Salib di pulau Sardinia. Kemenangan ini
diraih setelah armada laut Islam berhasil menundukkan kepulauan
Belyard di laut Tengah

Peperangan (3)

Perang Nahawand (21 H/642 M)

Di bawah pimpinan Huzaifah bin Yaman, kaum muslimin meraih
kemenangan atas tentara Persia dan dapat menaklukan benteng
Nahawand. Peperangan ini dikenal dengan “Fathul futuh” (Penaklukan
terbesar). Dengan kemenangan ini berarti kaum muslimin telah
meruntuhkan Dinasti Sasania yang telah berkuasa di Persia selama
empat abad lamanya.

Perang Nahrawan (38 H/658 M)

Ketika Ali bin Abu Thalib menjadi khalifah, kaum Khawarij
mengumumkan penolakan baiatnya. Pasukan Ali dan kaum Khawarij
bertemu di kota Nahrawan dan terjadilah pertempuran sengit, yang
berhasil dimenangkan pihak Ali dan berakhirlah kegiatan kaum
Khawarij setelah pemimpinnya, Abdullah Rasy terbunuh.

Perang Qadisiyah (14 H/635 M)

Di bawah pimpinan Saad bin Abu Waqqash, pasukan muslimin berhadapan
dengan pasukan Persia. Pertempuran terjadi dengan sengit selama tiga
hari dan berakhir dengan kemenangan kaum muslimin. Dalam pertempuran
itu, Rustum, komandan pasukan Persia mati terbunuh.

Perang Raidania (930 H/1517 M)

Setelah berhasil menguasai Syam (Suriah dan sekitarnya) dari
kekuasaan Mamalik, Sultan Salim I berangkat menuju Mesir, di suatu
tempat yang bernama Raidania, terjadi perlawanan sengit dari pasukan
Mamalik di bawah pimpinan Tuman Bey. Akan tetapi perlawanan tersebut
dapat dipatahkan. Dengan demikian, maka Daulat Mamalik runtuh.

Perang Riddah (penumpasan kaum murtad) (11 H/632 M)

Abu Bakar mengirim sebuah ekspedisi untuk menumpas orang-orang
murtad dan orang-orang yang enggan membayar zakat. Peperangan
terjadi dengan sengit dan berakhir dengan kemusnahan gerakan murtad
tersebut dan kembalinya mereka menganut Islam.

Perang Sawaqi (94 H/713 M)

Musa bin Nushair melangkah maju membawa pasukan berjumlah 18.000
prajurit dan berhasil menaklukan kota-kota yang terletak di sebelah
Barat Andalusia, seperti Syadzunah dan Seville. Pasukan ini
bergabung dengan pasukan Thariq bin Ziad dan mereka berhadapan
dengan pasukan Roderick dalam suatu pertempuran sengit yang dikenal
dengan perang Sawaqi. Peperangan ini berakhir dengan terbunuhnya
Roderick, daerah Toledo dapat dikuasai dan kekuatan Visigoth dapat
dihancurkan.

Perang Sawiq (Zulhijah tahun 2 H)

Sesampainya berita kepada Nabi saw bahwa Abu Sofyan telah menyiapkan
pasukan untuk memerangi kaum muslimin, sebagai balas dendam atas
kekalahan mereka pada perang Badar, Nabi saw bersama para sahabat
berangkat keluar kota Madinah untuk menghadang mereka. Namun ketika
rombongan Rasulullah saw tiba di Qarqaratul Kider, diketahui bahwa
Abu Sofyan dan pasukannya telah kembali ke Mekah dengan meninggalkan
barang-barang bawaan berupa bahan pangan untuk meringankan beban
mereka dalam perjalanan agar selamat.

Perang Shiffin (37 H/657 M)

Berkali-kali Muawiyah bin Abu Sofyan enggan membaiat Ali bin Abu
Thalib menjadi khalifah, maka Ali dengan pasukannya berangkat menuju
Suriah, sedangkan di waktu yang sama Muawiyah berangkat menuju
Kufah. Kedua pasukan tersebut bertemu di Shiffin, sebelah Barat
sungai Efrat. Tentara Ali sudah hampir memenangkan peperangan,
sehingga Muawiyah terpaksa mengadakan muslihat mengajak diadakan
peradilan arbitrase.

Perang Tabuk (9 H/630 M)

Rasulullah saw menyiapkan sebuah pasukan besar dan berangkat ke arah
Muktah untuk membalas derita yang menimpa kaum muslimin di sana.
Ketika pasukan besar itu sampai di kota Tabuk, mereka membuat kemah
dan berdiam di sana. Setelah pasukan Romawi mengetahui kedatangan
pasukan Islam tersebut, mereka merasa cemas, semua pasukan mereka
masuk ke dalam benteng-benteng yang ada di sekitar kota itu.
Rasulullah saw merasa bahwa kecemasan yang menimpa pasukan Romawi
tersebut sudah cukup, beliaupun membuat perjanjian-perjanjian dengan
warga kota-kota yang terdapat di perbatasan, yang berisikan bahwa
mereka diperbolehkan tinggal di tanah-tanah mereka, bebas
menjalankan ibadah agama mereka dengan syarat pembayaran upeti
(jizyah).

Perang Uhud (3 H/625 M)

Tentara Quraisy dan sekutu-sekutunya berangkat meninggalkan kota
Mekah untuk memerangi kaum muslimin sebagai balas dendam atas
pahlawan-pahlawan mereka yang tewas dalam perang Badar. Kedua
pasukan akhirnya bertemu di lereng gunung Uhud. Pada awal
pertempuran kaum muslimin berhasil memenangkan peperangan tetapi
ketika sebagian pasukan muslimin melanggar perintah Rasulullah saw
dan meninggalkan pos-pos pertahanan mereka, mengakibatkan adanya
lowongan-lowongan yang dapat dijadikan pasukan Quraisy sebagai jalan
untuk menyerang tentara muslimin.

Perang Yarmuk (15 H/636 M)

Sebuah pasukan kaum muslimin di bawah pimpinan Khalid bin Walid
berhadapan dengan pasukan Romawi di Yarmuk. Pertempuran tersebut
berakhir dengan kemenangan pasukan muslimin, membuat kaisar
Heraclius meninggalkan daerah Syam (Suriah dan sekitarnya) dan
menyerahkannya ke tangan kaum muslimin.

Perang Zab Raya (132 H/747 M)

Peperangan ini terjadi antara Abdullah bin Ali dari Daulat Abasiah
dengan Marwan bin Muhammad, khalifah Daulat Umawiah di Zab, sebuah
tempat yang terletak antara kota Musol dan Irbil. Peperangan ini
berakhir dengan kekalahan pasukan Marwan bin Muhammad, sehingga dia
lari ke Mesir, kemudian terbunuh di kota Bushair. Beliau inilah
khalifah terakhir dari Daulat Umawiah di Syam (Suriah dan
sekitarnya).

Perang Zallaqah (479 H/1086 M)

Untuk menahan pasukan Gerakan Kristenisasi yang datang dari kota
Toledo, emir Yusuf bin Tasyfin memimpin sebuah pasukan besar
menyeberangi laut Tengah menuju Andalusia. Di sana beliau berhadapan
dengan pasukan Gerakan Kristenisasi yang dipimpin oleh Alfonso VI.
Pertempuran sengit yang terjadi di suatu tempat yang dikenal dengan
Zallaqah, dekat kota Batlius. Dalam pertempuran itu ikut partisipasi
sekitar 13 orang raja Andalusia yang berakhir dengan kemenangan di
pihak kaum muslimin.

Perang Zatur Riqa` (4 H/625 M)

Rasulullah saw mengerahkan pasukan untuk memerangi kabilah Ghathfan
dan Bani Salim, sebagai pembalasan terhadap pengkhianatan mereka
terhadap delegasi Rasulullah saw yang dikirim ke daerah Najed guna
mengajari mereka ajaran-ajaran Islam, di mana mereka membunuh
sebagian besar delegasi Rasulullah saw tersebut. Dalam perang ini
tidak sempat terjadi bentrokan senjata antara Rasulullah saw dengan
mereka.

Perang Zatus Salasil (12 H/633 M)

Sebuah ekspedisi muslimin di bawah pimpinan Khalid bin Walid
berangkat menuju Iraq. Di Kazhimah mereka berhadapan dengan pasukan
Persia di bawah pimpinan Hurmuz. Pada pertempuran ini pasukan
muslimin berhasil meraih kemenangan.

Perang Zatus Shawari (34 H/655 M)

Armada perang kaum muslimin di bawah pimpinan Saad bin Abu Sarah
berhasil menaklukan armada perang Romawi yang dipimpin oleh kaisar
Constantinus III. Dengan kemenangan ini berarti kaum muslimin telah
menguasai kawasan Timur, Laut Tengah.


Perang Punisia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Langsung ke: navigasi, cari
Lukisan Hannibal dan tentaranya menyebrangi Alpen.

Perang Punisia adalah peperangan yang terjadi antara Romawi dengan Kartago antara tahun 264 hingga 146 SM,[1] dan merupakan perang terbesar di dunia kuno.[2] Kata Punisia sendiri berasar dari kata Punici, yang memiliki arti Bangsa Fenisia dalam bahasa Latin.

Perang ini terjadi akibat adanya keinginan bangsa Romawi untuk memperluas daerah kekuasaannya. Niat ini awalnya berlangsung tanpa hambatan yang berarti (hambatan disini berarti perlawanan dari penduduk asli) hingga akhirnya Republik Romawi berhadapan dengan Kartago. Pertempuran berlangsung dengan korban mencapai ratusan ribu prajurit. Sebelum serangan Republik Romawi pada Perang Punisia I, Kekaisaran Kartago adalah penguasa daerah Mediterania dengan maritimnya yang kuat. Hingga akhirnya pada Perang Punisia III, Republik Romawi berhasil menghancurkan Kartago dan menghancurkan ibukotanya, menjadikan Republik Romawi sebagai penguasa terkuat di Mediterania bagian barat.

Peperangan ini merupakan titik balik yang berarti bahwa peradaban Mediterania kuno akan menjadi dunia modern melalui Eropa, bukan melalui Afrika. Kemenangan Romawi terhadap Kartago dalam peperangan ini memberikan Romawi status unggul hingga pembagian Romawi menjadi Romawi Barat dan Timur oleh Diocletian tahun 286 M.

Daftar isi

[sembunyikan]

[sunting] Latar belakang

Pada tahun 264 SM, Kartago adalah kota pelabuhan besar yang terletak di pantai Tunisia modern. Didirikan oleh bangsa Fenisia pada pertengahan abad ke-9 SM, Kartago merupakan negara-kota yang kuat. Di Mediterania Barat, hanya Romawi yang dapat menyaingi kekuasaan, kekayaan dan populasi Kartago. Sementara angkatan laut Kartago merupakan yang terbesar di dunia kuno pada saat itu, Kartago tidak memiliki angkatan bersenjata yang besar dan permanen, namun bergantung pada tentara bayaran, menyewanya untuk peperangan.[3] Namun, kebanyakan perwira yang mengkomandokan tentara adalah penduduk Kartago. Kartago terkenal akan kemampuan mereka sebagai pelaut, dan tidak seperti angkatan bersenjata mereka, banyak Kartago dari kelas bawah bekerja di angkatan laut, yang menyediakan karir dan pendapatan yang cukup.

Pada tahun 264 SM, Republik Romawi telah menguasai semenanjung Italia di sebelah selatan sungai Po. Tidak seperti Kartago, Romawi memiliki angkatan bersenjata besar yang sebagian besar terdiri dari penduduk Romawi. Penduduk kelas bawah atau plebeius biasanya menjadi serdadu di legiun Romawi, sementara penduduk kelas atas atau patricius menjadi perwira. Di sisi lain, pada awal Perang Punisia Pertama, Romawi tidak memiliki angkatan laut, dan menjadi kelemahannya hingga mereka mulai membentuk angkatan laut mereka sendiri selama perang.

[sunting] Perang Punisia Pertama

!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perang Punisia Pertama

Pada Perang Punisia Pertama (264 SM - 241 SM) pertempuran bukan hanya terjadi di daratan (Sisilia dan Afrika), namun juga di laut Mediterania. Beberapa perang laut yang besar juga terjadi. Perang ini berlangsung dengan sengit hingga akhirnya Kekaisaran Romawi menang dan menaklukan Sisilia setelah mengalahkan Kartago dalam Pertempuran Kepulauan Aegates yang mengakhiri perang ini. Akibat kekalahannya, Kartago mengalami guncangan politik maupun militer, sehingga Kekaisaran Romawi akhirnya dengan mudah merebut Sardinia dan Korsika ketika Kartago terjerumus kedalam perang tentara bayaran.

[sunting] Perang Punisia Kedua

!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perang Punisia Kedua

Pada Perang Punisia Kedua (218 SM - 202 SM), pasukan Kartago yang dipimpin oleh Hannibal menyeberangi Laut Mediterania, menyusuri Semenanjung Iberia, kemudian Galia lalu ke daerah Alpen untuk menyerang Roma dari utara, dan berhasil memenangkan sejumlah pertempuran penting di daratan Italia, seperti Pertempuran Trebia, Pertempuran Danau Trasimene dan Pertempuran Cannae. Namun ternyata kemenangan ini tidak cukup berarti untuk menjatuhkan Republik Romawi secara keseluruhan. Membalas kekalahannya, Kekaisaran Romawi balik menyerang Hispania, Sisila dan Yunani. Di saat yang sama, pertempuran juga terjadi di Afrika. Di sanalah, Kekaisaran Kartago berhasil dikalahkan dalam sebuah pertempuran di Zama. Hal ini mengakibatkan berkurangnya wilayah kekuasaan Kartago, sehingga hanya menyisakan kota Kartago saja.

[sunting] Perang Punisia Ketiga

!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perang Punisia Ketiga

Pada Perang Punisia Ketiga diwarnai dengan penyerangan Kekaisaran Roma langsung ke jantung Kekaisaran Kartago, Kota Kartago, pada tahun 149 SM - 146 SM. Pada selang waktu antara akhir Perang Punisia Kedua dengan awal Punisia Ketiga, Republik Romawi berusaha memperluas wilayah menuju daerah peradaban Helenistik, yaitu dengan Kerajaan Seleukus, Makedonia, serta wilayah Illyria. Republik Romawi menang dan berhasil menghancurkan Kota Kartago, sekaligus menandai runtuhnya Kekaisaran Kartago.

Perang Bubat

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas



Perang Bubat
Tanggal abad ke-14 M
Lokasi Bubat, Majapahit, (sekarang berada di Provinsi Jawa Timur, Indonesia)
Hasil kemenangan Majapahit
Casus belli Perselisihan antara Gajah Mada dan Linggabuana
Pihak yang terlibat
Kerajaan Majapahit Kerajaan Sunda
Komandan
Gajah Mada
Hayam Wuruk
Maharaja Linggabuana
Kekuatan
besar kecil
Jumlah korban
tak diketahui besar, termasuk Linggabuana dan Dyah Pitaloka

Perang Bubat adalah perang yang kemungkinan pernah terjadi pada masa pemerintahan raja Majapahit, Hayam Wuruk dengan Mahapatih Gajah Mada. Persitiwa ini melibatkan Mahapatih Gajah Mada dengan Prabu Maharaja Linggabuana dari Kerajaan Sunda di Pesanggrahan Bubat pada abad ke-14 di sekitar tahun 1360 M. Sumber-sumber tertua yang bisa dijadikan rujukan mengenai adanya perang ini terutama adalah Kidung Sunda dan Kidung Sundayana yang berasal dari Bali.

Daftar isi

[sembunyikan]

[sunting] Rencana pernikahan

Peristiwa Perang Bubat diawali dari niat Prabu Hayam Wuruk yang ingin memperistri putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari Negeri Sunda. Konon ketertarikan Hayam Wuruk terhadap putri tersebut karena beredarnya lukisan sang putri di Majapahit; yang dilukis secara diam-diam oleh seorang seniman pada masa itu, bernama Sungging Prabangkara.[rujukan?]

Namun catatan sejarah Pajajaran yang ditulis Saleh Danasasmita dan Naskah Perang Bubat yang ditulis Yoseph Iskandar menyebutkan bahwa niat pernikahan itu adalah untuk mempererat tali persaudaraan yang telah lama putus antara Majapahit dan Sunda. Raden Wijaya yang menjadi pendiri kerajaan Majapahit, dianggap keturunan Sunda dari Dyah Lembu Tal dan suaminya yaitu Rakeyan Jayadarma, raja kerajaan Sunda. Hal ini juga tercatat dalam Pustaka Rajyatajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 3. Dalam Babad Tanah Jawi, Raden Wijaya disebut pula dengan nama Jaka Susuruh dari Pajajaran. Meskipun demikian, catatan sejarah Pajajaran tersebut dianggap lemah kebenarannya, terutama karena nama Dyah Lembu Tal adalah nama laki-laki.

Hayam Wuruk memutuskan untuk memperistri Dyah Pitaloka. Atas restu dari keluarga kerajaan, Hayam Wuruk mengirimkan surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana untuk melamarnya. Upacara pernikahan dilangsungkan di Majapahit. Pihak dewan kerajaan Negeri Sunda sendiri sebenarnya keberatan, terutama Mangkubuminya yaitu Hyang Bunisora Suradipati. Ini karena menurut adat yang berlaku di Nusantara pada saat itu, tidak lazim pihak pengantin perempuan datang kepada pihak pengantin lelaki. Selain itu ada dugaan bahwa hal tersebut adalah jebakan diplomatik Majapahit yang saat itu sedang melebarkan kekuasaannya, diantaranya dengan cara menguasai Kerajaan Dompu di Nusa Tenggara.

Linggabuana memutuskan untuk tetap berangkat ke Majapahit, karena rasa persaudaraan yang sudah ada dari garis leluhur dua negara tersebut. Berangkatlah Linggabuana bersama rombongan Sunda ke Majapahit, dan diterima serta ditempatkan di Pesanggrahan Bubat.

[sunting] Kesalah-pahaman

Melihat Raja Sunda datang ke Bubat beserta permaisuri dan putri Dyah Pitaloka dengan diiringi sedikit prajurit, maka timbul niat lain dari Mahapatih Gajah Mada yaitu untuk menguasai Kerajaan Sunda, sebab untuk memenuhi Sumpah Palapa yang dibuatnya tersebut, maka dari seluruh kerajaan di Nusantara yang sudah ditaklukkan hanya kerajaan sundalah yang belum dikuasai Majapahit. Dengan makksud tersebut dibuatlah alasan oleh Gajah Mada yang menganggap bahwa kedatangan rombongan Sunda di Pesanggrahan Bubat sebagai bentuk penyerahan diri Kerajaan Sunda kepada Majapahit, sesuai dengan Sumpah Palapa yang pernah ia ucapkan pada masa sebelum Hayam Wuruk naik tahta. Ia mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka bukan sebagai pengantin, tetapi sebagai tanda takluk Negeri Sunda dan mengakui superioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara. Hayam Wuruk sendiri menurut Kidung Sundayana disebutkan bimbang atas permasalah tersebut, karena Gajah Mada adalah Mahapatih yang diandalkan Majapahit pada saat itu.

[sunting] Gugurnya rombongan Sunda

Kemudian terjadi insiden perselisihan antara utusan Linggabuana dengan Gajah Mada. Perselisihan ini diakhiri dengan dimaki-makinya Gajah Mada oleh utusan Negeri Sunda yang terkejut bahwa kedatangan mereka hanya untuk memberikan tanda takluk dan mengakui superioritas Majapahit, bukan karena undangan sebelumnya. Namun Gajah Mada tetap dalam posisi semula.

Belum lagi Hayam Wuruk memberikan putusannya, Gajah Mada sudah mengerahkan pasukannya (Bhayangkara) ke Pesanggrahan Bubat dan mengancam Linggabuana untuk mengakui superioritas Majapahit. Demi mempertahankan kehormatan sebagai ksatria Sunda, Linggabuana menolak tekanan itu. Terjadilah peperangan yang tidak seimbang antara Gajah Mada dengan pasukannya yang berjumlah besar, melawan Linggabuana dengan pasukan pengawal kerajaan (Balamati) yang berjumlah kecil serta para pejabat dan menteri kerajaan yang ikut dalam kunjungan itu. Peristiwa itu berakhir dengan gugurnya Linggabuana, para menteri dan pejabat kerajaan Sunda, serta putri Dyah Pitaloka.

Hayam Wuruk menyesalkan tindakan ini dan mengirimkan utusan (darmadyaksa) dari Bali - yang saat itu berada di Majapahit untuk menyaksikan pernikahan antara Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka - untuk menyampaikan permohonan maaf kepada Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati yang menjadi pejabat sementara raja Negeri Sunda, serta menyampaikan bahwa semua peristiwa ini akan dimuat dalam Kidung Sunda atau Kidung Sundayana (di Bali dikenal sebagai Geguritan Sunda) agar diambil hikmahnya.

Akibat peristiwa Bubat ini, dikatakan dalam catatan tersebut bahwa hubungan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada menjadi renggang. Gajah Mada sendiri tetap menjabat Mahapatih sampai wafatnya (1364). Akibat peristiwa ini pula, di kalangan kerabat Negeri Sunda diberlakukan peraturan esti larangan ti kaluaran, yang isinya diantaranya tidak boleh menikah dari luar lingkungan kerabat Sunda, atau sebagian lagi mengatakan tidak boleh menikah dengan pihak timur negeri Sunda (Majapahit).

Perang Mataram-Banten

sumber : Bupala

Kerajaan Padjajaran runtuh pada tahun 1579 M. Pada tahun 1570 M kerajaan Sumedang Larang berdiri sebagai penerus kerajaan Padjajaran dengan rajanya yang bernama Prabu Geusan Ulun, putra pasangan Ratu Pucuk Umum (disebet juga Pengeran istri) deingan Pangeran Santri

keturunan Sunan Gunung Jati dari Cirebon. Kerajaan Ilam Sumedang Larang, pusat pemerintahannya berada di Dayeuh Luhur membawahi Sumedang, Galuh, Limbangan, Sukakerta dan Karawang. Prabu Geusan Ulun wafat pada tahun 1608, dan digantikan oleh putranya Rangga Gempol Kusumahdinata, putra Prabu Geusan Ulun dari istrinya
Harismaya keturunan Madura.
Pada masa itu di Jawa Tengah telah berdiri kerajaan Mataram dengan rajanya Sultan Agung (1613-1345) yang
bercita-cita ingin menguasai Pulau Jawa dan mengusir Kompeni (Belanda) dari Batavia.
Demi menjaga keselamatan wilayah kekuasaan Mataram di daerah Barat, pada tahun 1628 dan 1629, Sultan Agung melakukan penyerangan terhadap VOC (Belanda) di Batavia. Namun gagal sehubungan situasi medan yang sangat berat dan berjangkitnya penyakit Malaria serta karena kurangnya kebutuhan logistik.
Dengan kegagalan tersebut, Sultan Agung mencari strategi penyerangan terhadap kompeni dan menunjuk Karawang sebagai pusat logistik yang mempunyai pemerintahan sendiri dibawah kekuasaan Mataram dan dikomandani oleh seorang pemimpin yang cakap dan ahli perang serta mampu menggerakkan masyarakat untuk membangun pesawahan guna mendukung pengadaan
Logistik dalam persiapan melakukan penyeragan kembali terhadap VOC (Belanda) di Batavia.
Tahun 1632, Sultan Agung mengutus Wiraperbangsa Sari Galuh untuk membawa 1000 prajurit beserta keluarganya ke Karawang. Tujuan pasukan yang dipimpin oleh Wiraperbangsa adalah selain membebaskan pengaruh Banten di Karawang juga untuk mempersiapkan kebutuhan logistik sebagai bekal melakukan penyerangan kembali terhadap VOC (Belanda) di Batavia.
Tugas yang diemban Wiraperbangsa dapat dilaksanakan dengan baik. Hasilnya bahkan sempat dilaporkan kepada Sultan Agung di Mataram. Atas keberhasilannya, Wiraperbangsa dianugerahi jabatan Wedana (sekarang tingkat Bupati) di Karawang dan mendapat gelar Adipati Kertabumi III serta diberi hadiah senjata berupa sebilah Keris yang bernama “Karo sinjang”.

Setelah penganugerahan dilakukan di Mataram, Wiraperbangsa melanjutkan kembali tugasnya dan melakukan perjalanan ke Karawang. Namun takdir illahi berkata lain. Saat singgah sementara untuk menjenguk keluarganya di Galuh, Wiraperbangsa keburu wafat.

Selasa, 23 Juni 2009

PERANG DEMAK DAN MAJAPAHIT

PERANG MAJAPAHIT vs DEMAK
Alkisah, sepulang dari Giri, sang patih melaporkan hasil penaklukan terhadap
Giri yang dipimpin oleh orang Cina beragama Islam bernama Setyasena. Ia
membawa senjata pedang bertangkai panjang. Pasukannya berjumlah tiga ratus
yang pandai bersilat dengan kumis panjang berkepala gundul, berpakaian serba
seperti haji.

Dalam berperang mereka lincah seperti belalang. Sementara pasukan Majapahit
menembaki. Akibatnya, pasukan Giri tampak jatuh berjumpalitan tidak mampu
menerima peluru. Senapati Setyasena menemui ajal.

Pasukan Giri melarikan diri ke hutan dan gunung. Sebagian juga berlayar dan
lari ke Bonang dan terus diburu oleh pasukan Majapahit. Sunan Giri dan Sunan
Bonang yang ikut dalam perahu itu dikira melarikan diri ke Arab dan tidak
kembali ke Majapahit.

Maka Sang Prabu memerintahkan patih untuk mengutus ke Demak lagi, memburu
Sunan Giri dan Sunan Bonang karena Sunan Bonang telah merusak tanah
Kertosono. Sedangkan Sunan Giri telah memberontak, tidak mau menghadap raja,
bertekat melawan dengan perang.

Sang Patih keluar dari hadapan Raja untuk kemudian memanggil duta yang akan
dikirim ke Demak. Tetapi, tiba-tiba datang utusan dari Bupati Pati
menyerahkan surat terkenal (Menak Tanjangpura), mengabarkan bahwa Adipati
Demak Babah Patah telah menobatkan diri sebagai Raja Demak.

Sedangkan yang mendorong penobatan itu adalah Sunan Bonang dan Sunan Giri.
Para Bupati di Pesisir Utara dan semua kawan yang sudah masuk Islam
mendukung. Raja baru itu bergelar Prabu Jimbuningrat atau Sultan Syah Alam
Akbar Khalifaturrasul Amirilmukminin Tajudil Abdulhamid Khak, atau Sultan
Adi Surya Alam di Bintoro.

Pasukannya berjumlah tiga puluh ribu lengkap dengan senjata perang, terserah
kepada Patih cara menghadap kepada raja. Surat dari Pati itu bertanggal 3
Maulud tahun Jimakir 1303 masa kesembilan wuku Prabangkat. Kyai Patih sedih
sekali, menggeram sambil mengatupkan giginya.

Perang Aceh

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Langsung ke: navigasi, cari
Van Heutsz sedang memerhatikan pasukannya dalam penyerangan di Perang Aceh

Perang Aceh adalah perang Kesultanan Aceh melawan Belanda dimulai pada 1873 hingga 1904. Kesultanan Aceh menyerah pada 1904, tapi perlawanan rakyat Aceh dengan perang gerilya terus berlanjut.

Pada tanggal 26 Maret 1873 Belanda menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen. Pada 8 April 1873, Belanda mendarat di Pantai Ceureumen di bawah pimpinan Johan Harmen Rudolf Köhler, dan langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman. Köhler saat itu membawa 3.198 tentara. Sebanyak 168 di antaranya para perwira

Daftar isi

[sembunyikan]

[sunting] Periode

Tentara VOC Aceh setelah peperangan selesai

Perang pertama (1873-1874), yang dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah melawan Belanda yang dipimpin Köhler. Köhler dengan 3000 serdadunya dapat dipatahkan, di mana Köhler sendiri tewas pada tanggal 14 April 1873.

Sepuluh hari kemudian, perang berkecamuk di mana-mana. Yang paling besar saat merebut kembali Masjid Raya Baiturrahman, yang dibantu oleh beberapa kelompok pasukan. Ada di Peukan Aceh, Lambhuek (Lambuk), Lampu'uk, Peukan Bada, sampai Lambada, Krueng Raya. Beberapa ribu orang juga berdatangan dari Teunom, Pidie, Peusangan, dan beberapa beberapa wilayah lain.

Perang kedua (1874-1880), dibawah Jenderal Jan van Swieten berhasil menduduki Keraton Sultan, 26 Januari 1874, dan dijadikan sebagai pusat pertahanan Belanda. 31 Januari 1874 Jenderal Van Swieten mengumumkan bahwa seluruh Aceh jadi bagian dari Kerajaan Belanda.

Ketika Sultan Machmud Syah wafat 26 Januari 1874, digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawod yang dinobatkan sebagai Sultan di masjid Indragiri.

Perang pertama dan kedua ini adalah perang total dan frontal, di mana pemerintah masih berjalan mapan, meskipun ibu kota negara berpindah-pindah ke Keumala Dalam, Indra Puri dan tempat-tempat lain.

Perang ketiga (1881-1896), perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi sabilillah. Dimana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1904.

Dalam perang gerilya ini pasukan Aceh dibawah Teuku Umar bersama Panglima Polim dan Sultan. Pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van der Dussen di Meulaboh, Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar kemudian tampil menjadi komandan perang gerilya.

Perang keempat (1896-1910) adalah perang gerilya kelompok dan perorangan dengan perlawanan, penyerbuan, penghadangan dan pembunuhan tanpa komando dari pusat pemerintahan Kesultanan.

[sunting] Latar belakang

Perang Aceh disebabkan karena:

  • Belanda menduduki daerah Siak. Akibat dari Perjanjian Siak 1858. Di mana Sultan Ismail menyerahkan daerah Deli, Langkat, Asahan dan Serdang kepada Belanda, padahal daerah-daerah itu sejak Sultan Iskandar Muda, berada di bawah kekuasaan Aceh.
  • Belanda melanggar perjanjian Siak, maka berakhirlah Perjanjian London 1824. Isi perjanjian London adalah Belanda dan Britania Raya membuat ketentuan tentang batas-batas kekuasaan kedua daerah di Asia Tenggara yaitu dengan garis lintang Singapura. Keduanya mengakui kedaulatan Aceh.
  • Aceh menuduh Belanda tidak menepati janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yang lewat perairan Aceh ditenggelamkan oleh pasukan Aceh. Perbuatan Aceh ini didukung Britania.
  • Dibukanya Terusan Suez oleh Ferdinand de Lesseps. Menyebabkan perairan Aceh menjadi sangat penting untuk lalu lintas perdagangan.
  • Ditandatanganinya Perjanjian London 1871 antara Inggris dan Belanda, yang isinya, Britania memberikan keleluasaan kepada Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus menjaga keamanan lalulintas di Selat Malaka. Belanda mengizinkan Britania bebas berdagang di Siak dan menyerahkan daerahnya di Guyana Barat kepada Britania.
  • Akibat perjanjian Sumatera 1871, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan Konsul Amerika Serikat, Kerajaan Italia, Kesultanan Usmaniyah di Singapura. Dan mengirimkan utusan ke Turki Usmani pada tahun 1871.
  • Akibat hubungan diplomatik Aceh dengan Konsul Amerika, Italia dan Turki di Singapura, Belanda menjadikan itu sebagai alasan untuk menyerang Aceh. Wakil Presiden Dewan Hindia Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen dengan 2 kapal perangnya datang ke Aceh dan meminta keterangan dari Sultan Machmud Syah tentang apa yang sudah dibicarakan di Singapura itu, tetapi Sultan Machmud menolak untuk memberikan keterangan.

[sunting] Siasat Snouck Hurgronje

Untuk mengalahkan pertahanan dan perlawan Aceh, Belanda memakai tenaga ahli Dr. Christiaan Snouck Hurgronje yang menyamar selama 2 tahun di pedalaman Aceh untuk meneliti kemasyarakatan dan ketatanegaraan Aceh. Hasil kerjanya itu dibukukan dengan judul Rakyat Aceh (De Acehers). Dalam buku itu disebutkan strategi bagaimana untuk menaklukkan Aceh.

Usulan strategi Snouck Hurgronje kepada Gubernur Militer Belanda Johannes Benedictus van Heutsz adalah, supaya golongan Keumala (yaitu Sultan yang berkedudukan di Keumala) dengan pengikutnya dikesampingkan dahulu. Tetap menyerang terus dan menghantam terus kaum ulama. Jangan mau berunding dengan pimpinan-pimpinan gerilya. Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya. Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh, dengan cara mendirikan langgar, masjid, memperbaiki jalan-jalan irigasi dan membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh.

Ternyata siasat Dr Snouck Hurgronje diterima oleh Van Heutz yang menjadi Gubernur militer dan sipil di Aceh (1898-1904). Kemudian Dr Snouck Hurgronje diangkat sebagai penasehatnya.

[sunting] Taktik perang

Taktik perang gerilya Aceh ditiru oleh Van Heutz, dimana dibentuk pasukan maréchaussée yang dipimpin oleh Christoffel dengan pasukan Colone Macan yang telah mampu dan menguasai pegunungan-pegunungan, hutan-hutan rimba raya Aceh untuk mencari dan mengejar gerilyawan-gerilyawan Aceh.

Taktik berikutnya yang dilakukan Belanda adalah dengan cara penculikan anggota keluarga gerilyawan Aceh. Misalnya Christoffel menculik permaisuri Sultan dan Tengku Putroe (1902). Van der Maaten menawan putera Sultan Tuanku Ibrahim. Akibatnya, Sultan menyerah pada tanggal 5 Januari 1902 ke Sigli dan berdamai. Van der Maaten dengan diam-diam menyergap Tangse kembali, Panglima Polim dapat meloloskan diri, tetapi sebagai gantinya ditangkap putera Panglima Polim, Cut Po Radeu saudara perempuannya dan beberapa keluarga terdekatnya. Akibatnya Panglima Polim meletakkan senjata dan menyerah ke Lhokseumawe pada Desember 1903. Setelah Panglima Polim menyerah, banyak penghulu-penghulu rakyat yang menyerah mengikuti jejak Panglima Polim.

Taktik selanjutnya, pembersihan dengan cara membunuh rakyat Aceh yang dilakukan dibawah pimpinan Gotfried Coenraad Ernst van Daalen yang menggantikan Van Heutz. Seperti pembunuhan di Kuta Reh (14 Juni 1904) di mana 2.922 orang dibunuhnya, yang terdiri dari 1.773 laki-laki dan 1.149 perempuan.

Taktik terakhir menangkap Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar yang masih melakukan perlawanan secara gerilya, dimana akhirnya Cut Nya Dien dapat ditangkap dan diasingkan ke Cianjur.

[sunting] Surat perjanjian tanda menyerah

Selama perang Aceh, Van Heutz telah menciptakan surat pendek (Korte Verklaring, Traktat Pendek) tentang penyerahan yang harus ditandatangani oleh para pemimpin Aceh yang telah tertangkap dan menyerah. Dimana isi dari surat pendek penyerahan diri itu berisikan, Raja (Sultan) mengakui daerahnya sebagai bagian dari daerah Hindia Belanda, Raja berjanji tidak akan mengadakan hubungan dengan kekuasaan di luar negeri, berjanji akan mematuhi seluruh perintah-perintah yang ditetapkan Belanda. Perjanjian pendek ini menggantikan perjanjian-perjanjian terdahulu yang rumit dan panjang dengan para pemimpin setempat.

Perang Diponegoro

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Langsung ke: navigasi, cari
Lukisan Persitiwa Penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Nicolaas Pieneman

Perang Diponegoro (Inggris:The Java War, Belanda: De Java Oorlog), adalah perang besar dan menyeluruh berlangsung selama lima tahun (1825-1830) yang terjadi di Jawa, Hindia Belanda (sekarang Indonesia), antara pasukan penjajah Belanda di bawah pimpinan Jendral De Kock[1] melawan penduduk pribumi yang dipimpin seorang pangeran Yogyakarta bernama Pangeran Diponegoro. Dalam perang ini telah berjatuhan korban yang tidak sedikit. Baik korban harta maupun jiwa. Dokumen-dokumen Belanda yang dikutip para ahli sejarah, disebutkan bahwa sekitar 200.000 jiwa rakyat yang terenggut. Sementara itu di pihak serdadu Belanda, korban tewas berjumlah 8.000.

Perang Diponegoro merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh Belanda selama menjajah Nusantara. Peperangan ini melibatkan seluruh wilayah Jawa, maka disebutlah perang ini sebagai Perang Jawa.

Daftar isi

[sembunyikan]

[sunting] Latar belakang

Setelah kekalahannya dalam Perang Napoleon di Eropa, pemerintah Belanda yang berada dalam kesulitan ekonomi berusaha menutup kekosongan kas mereka dengan memberlakukan berbagai pajak di wilayah jajahannya, termasuk di Hindia Belanda. Selain itu, mereka juga melakukan monopoli usaha dan perdagangan untuk memaksimalkan keuntungan. Pajak-pajak dan praktek monopoli tersebut amat mencekik rakyat Indonesia yang ketika itu sudah sangat menderita.

Untuk semakin memperkuat kekuasaan dan perekonomiannya, Belanda mulai berusaha menguasai kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, salah satu di antaranya adalah Kerajaan Yogyakarta. Ketika Sultan Hamengku Buwono IV wafat, kemenakannya, Sultan Hamengku Buwono V yang baru berusia 3 tahun, diangkat menjadi penguasa. Akan tetapi pada prakteknya, pemerintahan kerajaan dilaksanakan oleh Patih Danuredjo, seseorang yang mudah dipengaruhi dan tunduk kepada Belanda. Belanda dianggap mengangkat seseorang yang tidak sesuai dengan pilihan/adat keraton.

Pada pertengahan bulan Mei 1825, pemerintah Belanda yang awalnya memerintahkan pembangunan jalan dari Yogyakarta ke Magelang lewat Muntilan, mengubah rencananya dan membelokan jalan itu melewati Tegalrejo. Rupanya di salah satu sektor, Belanda tepat melintasi makam dari leluhur Pangeran Diponegoro. Hal inilah yang membuat Pangeran Diponegoro tersinggung dan memutuskan untuk mengangkat senjata melawan Belanda. Ia kemudian memerintahkan bawahannya untuk mencabut patok-patok yang melewati makam tersebut.

Belanda yang mempunyai alasan untuk menangkap Pangeran Diponegoro karena dinilai telah memberontak, pada 20 Juli 1825 mengepung kediaman beliau. Terdesak, Pangeran beserta keluarga dan pasukannya menyelamatkan diri menuju barat hingga Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo, dan meneruskan ke arah selatan hingga tiba di Goa Selarong yang terletak lima kilometer arah barat dari Kota Bantul. Sementara itu, Belanda —yang tidak berhasil menangkap Pangeran Diponegoro— membakar habis kediaman Pangeran.

Pangeran Diponegoro kemudian menjadikan Goa Selarong, sebuah goa yang terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul, sebagai basisnya. Pangeran menempati goa sebelah Barat yang disebut Goa Kakung, yang juga menjadi tempat pertapaan beliau. Sedangkan Raden Ayu Retnaningsih (selir yang paling setia menemani Pangeran setelah dua istrinya wafat) dan pengiringnya menempati Goa Putri di sebelah Timur.

Setelah penyerangan itu, dimulailah sebuah perang besar yang akan berlangsung 5 tahun lamanya. Di bawah kepemimpinan Diponegoro, rakyat pribumi bersatu dalam semangat "Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati"; sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati. Selama perang, sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung dengan Diponegoro. Perjuangan Diponegoro dibantu Kyai Maja yang juga menjadi pemimpin spiritual pemberontakan.

[sunting] Jalannya perang

Peta Mataram Baru setelah Perang Diponegoro pada tahun 1830

Pertempuran terbuka dengan pengerahan pasukan-pasukan infantri, kavaleri dan artileri —yang sejak perang Napoleon menjadi senjata andalan dalam pertempuran frontal— di kedua belah pihak berlangsung dengan sengit. Front pertempuran terjadi di puluhan kota dan desa di seluruh Jawa. Pertempuran berlangsung sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah dapat dikuasai pasukan Belanda pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya. Jalur-jalur Iogistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan perang. Berpuluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan dasar jurang. Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus sementara peperangan berkencamuk. Para telik sandi dan kurir bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun stategi perang. Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi medan, curah hujan menjadi berita utama; karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui penguasaan informasi.

Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-bulan penghujan; para senopati menyadari sekali untuk bekerjasama dengan alam sebagai "senjata" tak terkalahkan. Bila musim penghujan tiba, gubernur Belanda akan melakukan usaha usaha untuk gencatan senjata dan berunding, karena hujan tropis yang deras membuat gerakan pasukan mereka terhambat. Penyakit malaria, disentri, dan sebagainya merupakan "musuh yang tak tampak" melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka. Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda akan mengkonsolidasikan pasukan dan menyebarkan mata-mata dan provokator mereka bergerak di desa dan kota; menghasut, memecah belah dan bahkan menekan anggota keluarga para pengeran dan pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang dibawah komando pangeran Diponegoro. Namun pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belanda.

Pada puncak peperangan, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu; suatu hal yang belum pernah terjadi ketika itu dimana suatu wilayah yang tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa timur dijaga oleh puluhan ribu serdadu. Dari sudut kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan semua metode yang dikenal dalam sebuah perang modern. Baik metode perang terbuka (open warfare), maupun metoda perang gerilya (geurilia warfare) yang dilaksanakan melalui taktik hit and run dan penghadangan. ini bukan sebuah tribal war atau perang suku. Tapi suatu perang modern yang memanfaatkan berbagai siasat yang saat itu belum pernah dipraktekkan. perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat syaraf (psy-war) melalui insinuasi dan tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran; dan kegiatan telik sandi (spionase) dimana kedua belah pihak saling memata-matai dan mencari informasi mengenai kekuatan dan kelemahan lawannya.

Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun 1829, Kyai Maja, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Sentot Alibasya menyerah kepada Belanda. Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Di sana, Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Maka, Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.

Berakhirnya Perang Jawa yang merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban dipihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa. Sehingga setelah perang ini jumlah penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya. Mengingat bagi sebagian orang Kraton Yogyakarta Diponegoro dianggap pemberontak, sehingga konon anak cucunya tidak diperbolehkan lagi masuk ke Kraton, sampai kemudian Sri Sultan HB IX memberi amnesti bagi keturunan Diponegoro, dengan mempertimbangkan semangat kebangsaan yang dipunyai Diponegoro kala itu. Kini anak cucu Diponegoro dapat bebas masuk Kraton, terutama untuk mengurus Silsilah bagi mereka, tanpa rasa takut akan diusir.

[sunting] Perang Diponegoro dan Perang Padri

Di sisi lain, sebenarnya Belanda sedang menghadapi Perang Padri di Sumatera Barat. Penyebab Perang Paderi adalah perselisihan antara Kaum Padri (alim ulama) dengan Kaum Adat (orang adat) yang mempermasalahkan soal agama Islam, ajaran-ajaran agama, mabuk-mabukan, judi, maternalisme dan paternalisme. Saat inilah Belanda masuk dan mencoba mengambil kesempatan. Namun pada akhirnya Belanda harus melawan baik kaum adat dan kaum paderi, yang belakangan bersatu. Perang Paderi berlangsung dalam dua babak: babak I antara 1821-1825, dan babak II.

Untuk menghadapi Perang Diponegoro, Belanda terpaksa menarik pasukan yang dipakai perang di Sumatera Barat untuk menghadapi Pangeran Diponegoro yang bergerilya dengan gigih. Sebuah gencatan senjata disepakati pada tahun 1825, dan sebagian besar pasukan dari Sumatera Barat dialihkan ke Jawa. Namun, setelah Perang Diponegoro berakhir (1830), kertas perjanjian gencatan senjata itu disobek, dan terjadilah Perang Padri babak kedua. Pada tahun 1837 pemimpin Perang Paderi, Tuanku Imam Bonjol akhirnya menyerah. Berakhirlah Perang Padri.